Kepri: Potensi Kemaritiman yang Tersembunyi di Tengah Tantangan Infrastruktur dan Regulasi

Eranusanews.com, Batam – Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) memiliki posisi strategis di antara Samudra Hindia dan Pasifik, serta di antara dua benua. Wilayah ini berpotensi menjadi kawasan transit utama di Asia Tenggara. Namun, pemanfaatan potensi kemaritiman di Kepri hingga kini baru mencapai 20 persen. Dengan 96 persen dari total wilayahnya berupa perairan, laut di Kepri berfungsi sebagai penghubung antara 1.350 pulau besar dan kecil di provinsi ini. Hal ini disampaikan oleh Nasrul Amri Latif dalam diskusi Alumni HMI Club Part III yang diadakan di Ruko The Summer pada Sabtu (9/11/2024).

Nasrul, yang juga mantan Kepala Kantor Pelabuhan Laut BP Batam, mengungkapkan bahwa salah satu tantangan utama dalam pengembangan Kepri adalah tingginya biaya akses transportasi laut, menjadikannya salah satu provinsi dengan biaya logistik tertinggi di Indonesia. Situasi ini diperburuk oleh kurangnya infrastruktur pelabuhan yang memadai untuk mendukung sektor perikanan dan pariwisata. Ia mengusulkan pengembangan industri pengalengan ikan, pasar apung, serta fasilitas layanan laut terpusat sebagai langkah strategis untuk menjadikan Kepri sebagai “Sentral Layanan Laut” yang efisien.

Namun, pemerintah Kepri menghadapi berbagai kendala regulasi yang tidak mendukung. Proses perizinan untuk sektor pariwisata dan kemaritiman masih dianggap rumit, yang berdampak pada sektor pariwisata maritim. Sekitar 34 ribu kapal pesiar yang melewati wilayah ini setiap tahunnya tidak dapat bersandar di pelabuhan Kepri, meskipun potensi ekonomi dari setiap kunjungan kapal pesiar sangat besar dan dapat mendukung keberlangsungan bisnis lokal di bidang pariwisata dan perbaikan kapal.

Kondisi politik yang tidak stabil juga menjadi faktor penghambat pengembangan pariwisata. Sebelumnya, ada rencana untuk mengubah rute kapal pesiar agar singgah di Bintan. Namun, rencana tersebut terhambat oleh ketidakjelasan peran antara Walikota dan Gubernur, sehingga promosi tidak dapat dilaksanakan. Menurut narasumber, kurangnya eksposur terhadap potensi layanan perbaikan kapal di Kepri juga menjadi kendala, membuat sektor ini terpinggirkan dibandingkan negara tetangga.

Selain itu, infrastruktur yang terbatas menghambat pertumbuhan pariwisata di Kepri. Keindahan pulau Natuna, yang seharusnya menjadi destinasi wisata unggulan, sulit diakses oleh wisatawan karena minimnya fasilitas transportasi dan akomodasi. Hal ini menyebabkan rendahnya minat wisatawan untuk mengunjungi destinasi eksotis di Kepri, yang kaya akan keindahan alam dan bawah laut.

Dalam konteks yang lebih luas, posisi Kepri sangat tergantung pada inisiatif One Belt One Road (OBOR) yang diprakarsai oleh China. Tanpa keterlibatan dalam jalur OBOR, pengelolaan pelabuhan di Kepri diperkirakan akan sulit berkembang, karena China hanya akan mengalokasikan sumber daya untuk pelabuhan yang menjadi titik lintasan OBOR. Keterlibatan Kepri dalam inisiatif ini diharapkan dapat menarik investasi dan meningkatkan aktivitas ekonomi.

Sektor industri digital juga menghadapi tantangan, mengalami stagnasi akibat ketergantungan pada Singapura. Singapura telah mengambil alih peran Kepri dalam industri digital, berkat kestabilan pasokan listrik dan air bersih di negara tersebut. Di Kepri, kekurangan pasokan listrik dan air bersih menghambat perkembangan industri digital. Narasumber menekankan perlunya upaya yang lebih serius dalam pengelolaan sumber daya air untuk memastikan ketersediaannya.

Selain infrastruktur, kurangnya atraksi wisata yang menarik bagi penumpang kapal pesiar menjadi perhatian. Wisata yang diminati oleh wisatawan mancanegara, seperti judi dan wisata kultural, tidak tersedia di Batam, sehingga membuatnya kurang menarik bagi industri kapal pesiar. Daya tarik wisata yang berbeda perlu dikembangkan di Kepri untuk menarik minat penumpang kapal pesiar.

BP Batam dijadikan contoh oleh narasumber sebagai lembaga pengelola kawasan perdagangan dan pelabuhan yang perlu diperkuat perannya. Namun, kurangnya koordinasi antar pemangku kepentingan dalam pengembangan kawasan perdagangan dan pelabuhan di Batam menjadi penghambat bagi Kepri untuk menjadi pusat ekonomi maritim yang kompetitif.

Dengan berbagai tantangan yang ada, potensi Kepri masih sangat besar dan terpendam. Narasumber menekankan pentingnya menyampaikan kepentingan nasional kepada penguasa dan pengambil kebijakan agar pengelolaan Kepri sebagai ikon kemaritiman Indonesia dapat diwujudkan secara optimal dan berkelanjutan.

Aris Wibowo, seorang praktisi pelayaran, menambahkan bahwa untuk mengembangkan potensi Batam sebagai area persimpangan di Asia Tenggara, diperlukan kebijakan yang lebih inovatif. Ia menilai bahwa Free Trade Zone (FTZ) di Batam perlu direvisi untuk mendukung pengembangan Batam sebagai pusat logistik. BP Batam harus berupaya menarik investasi untuk mengembangkan pelabuhan menjadi holding company dengan kapasitas kontainer hingga dua juta TEUs per tahun.

Aris juga menyoroti kurangnya aktor yang berani mengeksekusi kebijakan di sektor maritim Kepri, yang seharusnya tidak hanya fokus pada sektor permukaan laut. Pemerintah dianggap perlu mengurangi pendekatan birokratis untuk memungkinkan pertumbuhan sektor pariwisata dan kemaritiman, serta memastikan penyediaan air bersih dan bahan bakar yang stabil.

Dalam diskusi ini, Al Jihad, mantan direktur Persero Batam, juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait pengelolaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan bebas Batam yang terlihat jauh dari visi yang direncanakan oleh BJ Habibie sebagai Ketua Otorita Batam pertama. Perubahan perencanaan ini diperkirakan dipengaruhi oleh lobi tingkat tinggi, yang membuat Singapura tetap unggul dalam pengelolaan sektor kemaritiman.

Muhammad Iqbal, praktisi manajemen SDM dari PT Astra, menekankan pentingnya mendalami hasil rekomendasi diskusi ini sebagai studi kelayakan untuk mengoptimalkan potensi ekonomi kemaritiman Kepri. Rekomendasi ini dapat menjadi acuan bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan yang lebih inovatif.

Yusnan Lubis, pengurus HIPKA Provinsi Kepri, menyatakan apresiasinya terhadap diskusi ini dan berharap rekomendasi yang dihasilkan dapat diimplementasikan di tingkat pemerintahan. Ia juga mencatat rendahnya minat masyarakat Kepri untuk mengambil program studi kemaritiman di UMRAH, meskipun kebutuhan akan SDM yang kompeten di bidang ini sangat diperlukan.

HIPKA Kota Batam, diwakili oleh Hendri, berharap diskusi di masa mendatang dapat melibatkan lebih banyak pelaku usaha untuk merealisasikan peluang yang ada. Peningkatan jumlah wirausaha diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor UMKM.

Muhammad Yunus, salah satu inisiator Alumni HMI Club, menegaskan bahwa diskusi ini tidak hanya berorientasi pada peluang usaha, tetapi juga berfokus pada kebijakan yang dapat mendukung pertumbuhan dan pemerataan ekonomi di Kepri.

Diskusi yang berlangsung dari pukul 16.00 hingga 19.00 ini dipandu oleh Supriyadi, Ketua Umum HMI Cabang Batam periode 2015-2016, dan menghasilkan beberapa rekomendasi, antara lain:

  1. Revisi Kebijakan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam: Agar dapat berfungsi sebagai pusat logistik regional dengan memudahkan akses investasi dan kegiatan manufaktur.
  2. Pembentukan Layanan Laut Terpusat di Kepri: Diperlukan pusat layanan laut yang terintegrasi untuk mendukung peran Kepri sebagai “Sentral Layanan Laut,” dengan manajemen perizinan yang efisien.
  3. Pengembangan Infrastruktur Pelabuhan dan Bandara: Konektivitas di Kepri perlu ditingkatkan melalui pembangunan pelabuhan dan bandara yang memadai di pulau-pulau utama untuk mendukung sektor perikanan, pariwisata, dan logistik.
  4. Pengembangan Industri Wisata Maritim dan Budaya: Pemerintah perlu mengembangkan paket wisata menarik bagi wisatawan asing, termasuk fasilitas khusus seperti kasino dan pasar apung.
  5. Penyediaan dan Pengelolaan Sumber Daya Air dan Listrik yang Optimal: Implementasi kebijakan terpadu dalam pengelolaan air bersih dan listrik untuk memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *