Oleh: Erizal
Benar bahwa Bang Fahri (Fahri Hamzah) itu orang kampung. Bahkan, lebih kampung dari daerah-daerah yang dilewati dan disinggahinya seperti Muaro Bungo, Sungai Rumbai, Koto Baru, Pulau Punjung, Nagari Cupak, perjalanan dua hari dari Muaro Bungo hingga ke Padang.
Tapi terkadang, karena ia tokoh nasional, kerap muncul di televisi, event-event besar, kita yang di bawah melihatnya sebagai orang kota, orang yang seolah tak layak menghadiri lokasi-lokasi yang hari-hari digeluti orang kampung. Orang kampung merasa kaget ketika ia begitu dekat.
Di Pesantren Ulul Albab, guru dan santrinya seolah tak percaya bahwa Fahri Hamzah bisa tiba di pesantrennya, yang nun jauh di sana. Padahal Pesantren ini diinisiasi alumni Gontor yang terkenal. “Beginilah kami di sini hari-hari Pak Fahri, “kata pendiri memulai pembicaraan.
Bang Fahri merespon lebih kampung lagi daripada itu. Dulu, saya bersekolah jauh dari segi apa pun dibanding di sini. Ini lebih terasa mending. Dan di tempat seperti inilah kita lebih mudah dibentuk karakter, keyakinan, sikap, dan hal-hal yang mendasar bagi generasi ke depan.
Di Nagari Cupak, kawan-kawan di sana, merasa masih dalam mimpi seorang Fahri Hamzah ada di depan mereka. Dini hari itu, mereka bergetar, memeluk, berjabat tangan dengan takzim. Bisa ada Fahri Hamzah di sini. Tak lama, tapi terasa sempurna. Bang Fahri terlihat menikmati pula.
Ia seperti ditarik ke bumi, ditarik ke bawah, yang selama ini terlihat melambung ke langit, melayang di atas. Tetap dalam keseimbangan. Menjaga kewarasan. “Ini yang aku suka saat dalam perjalanan Bang, “kata Rahman Toha sambil nyetir mobil di jalanan yang turun-naik.
“Bukan, “balas Bang Fahri. Inilah jalan dakwah itu Mang, “tambah Bang Fahri. Rahman Toha alias Amang kaget mendengar komentar Bang Fahri. “Abang jangan bikin kaget gitu Bang. Aku merasa gimana gitu, “balas Amang seraya tersenyum manis. Matanya hilang bila tertawa.