EranusaNews.com, Kepri – RP 47.420.700 DANA GAIB MENGUAP BERSAMA ASINNYA AIR LAUT. Atas nama penduduk pulau tanpa listrik PLN, mari kita berhitung! Sampai Januari 2024, masyarakat Pulau Bahan, Kec. Moro/Sugi Besar, Kab. Karimun, Kepri belum menikmati fasilitas listrik dari negara. Masyarakat hanya mengandalkan sumber listrik dari warga yang memiliki genset diesel hanya untuk kebutuhan dasar sebagai penerangan dan beberapa televisi pada malam hari, dari pukul 18.00-23.00, itu saja tidak lebih, tidak ada rice cooker, tanpa kulkas , apalagi air conditioner (AC), dan mereka harus membayar mahal untuk 5 jam tersebut dibandingkan tarif listrik PLN. Mereka membayar Rp 135.000-Rp 195.000 per bulan per rumah kepala keluarga; kalau dihitung rata-rata lebih kurang Rp 165.000 per bulan atau Rp 5.500 per malam.
Harga tersebut dihitung berdasarkan pemakaian beban setiap rumah; untuk harga beban satu bola lampu Rp 1.500 per malam dan televisi Rp 2.000 per malam. Jika ingin memasang listrik genset tersebut minimal memasang 3 lampu atau 2 lampu dengan tambahan 1 televisi, atau lebih. Bila dihitung dengan pemakaian minimal tersebut, maka setiap rumah harus membayar: 3 lampu x Rp 1.500 x 30 malam/hari = Rp 135.000 per bulan.
Atau, 2 lampu x Rp 1.500 x 30 hari/malam = Rp 90.000 ditambah 1 televisi x Rp 2.000 x 30 hari/malam = Rp 60.000, maka harus membayar Rp 150.000 per bulan.
Perhitungan tersebut dengan pemakaian minimal, belum termasuk yang pemakaiannya 3 lampu dengan 1 televisi.
Masyarakat Pulau Bahan harus membayar mahal untuk itu, padahal pemakaian beban tidak sampai 1000 watt/ 1 kWh per malam. Mereka memakai lampu LED yang berkapasitas paling tinggi 25 watt dan daya paling tinggi untuk televisi 110 watt. Bila dihitung dengan pemakaian daya tersebut, maka 1 lampu: 25 watt x 5 jam pemakaian = 125 watt per lampu, 2 lampu sama dengan 250 watt, dan 3 lampu sama dengan 375 watt per malam.
Ditambah dengan 1 televisi: 110 watt x 5 jam pemakaian = 550 watt per malam.
Jumlah keseluruhan bila dihitung pemakaian maksimal dengan 3 bola lampu dengan 1 televisi: 375 watt + 550 watt = 925 watt per malam. Maka, jumlah pemakaian per malam per rumah selama 5 jam adalah 925 watt, digenapkan menjadi 1000 watt/ 1 kWh dengan menambahkan beban pengecasan, seperti handphone dan lain-lain. Sekali lagi itu perhitungan berdasarkan pemakaian daya maksimal, jika dihitung dari pemakaian lampu yang di bawah 25 watt atau televisi LED hemat energi di bawah 75 watt, tentu itu akan jauh lebih hemat lagi.
Namun, masyarakat pulau tanpa PLN harus membayar Rp 5.500 per malam dengan pemakaian 1 kWh tersebut. Tentu itu harga yang sangat mahal jika dibandingkan tarif listrik PLN berdasarkan siaran pers PLN No. 004.PR/STH.00.01/I/2023, yaitu Rp 415/ kWh untuk pelanggan rumah tangga daya 450 VA. Kemahalan tarif tersebut melebihi tarif listrik untuk sebuah rumah super mewah, industri, bahkan melebihi semua golongan pelanggan PLN yang pernah ada. Seharusnya mereka cukup membayar Rp 415 per malam atau Rp 12.450 per bulan, bukan Rp 165.000 per bulan. Jika PLN hadir di pulau tanpa listrik PLN seperti Dusun Pulau Bahan, maka setiap kepala keluarga bisa menghemat Rp 152.550 per bulan. Jika dikalikan dengan jumlah kepala keluarga di Pulau Bahan yang berjumlah 124 KK, maka Dusun Pulau Bahan mampu menghemat Rp 18.916.200 per bulan.
Jumlah penghematan tersebut belum seberapa jika dibandingkan lagi dengan konsumsi BBM dan Gas Elpiji 3 Kg di pulau. Masyarakat Pulau Bahan sendiri 90% para kepala keluarga bekerja sebagai nelayan, dimana banyak membutuhkan bahan bakar minyak untuk menjalankan perahu-perahu mereka yang memakai mesin tempel, baik itu perahu jaring untuk mencari ikan atau perahu sebagai kendaraan transportasi antar pulau. Jika dihitung dari kebutuhan kegiatan nelayan saja, setidaknya terdapat 93 kepala keluarga atau 75% dari 124 kepala keluarga yang aktif dan rutin turun melaut setiap dua hari sekali, atau rata-rata 15 kali dalam sebulan. Mereka setidaknya menghabiskan minyak bensin/pertalite 5 liter setiap kali melaut, dan 75 liter per bulannya setiap kepala keluarga. Jika dikalikan dengan 93 kepala keluarga yang aktif dan rutin, maka setidaknya mereka membutuhkan 6.975 liter per bulan. Namun, harga yang harus mereka bayar untuk 1 liter minyak pertalite jauh lebih mahal dari harga resmi SPBU Pertamina, mereka membeli Rp 13.500 per liter, selisih Rp 3.500 lebih mahal dari harga resmi Pertamina yang hanya Rp 10.000 per liter. Minyak 6.975 liter tersebut dihitung berdasarkan kebutuhan melaut saja, belum termasuk kebutuhan minyak untuk transportasi sehari-hari. Jika seandainya, andai kata, atau bila suatu masa SPBU Pertamina bisa hadir di pulau, maka pulau seperti Dusun Pulau Bahan bisa menghemat 6.975 liter x Rp 3.500 sama dengan Rp 24.412.500.
Untuk Gas Elpiji 3 kg, rata-tata setiap rumah tangga menghabiskan 3 tabung gas per bulan. Jadi keseluruhan rumah tangga Dusun Pulau Bahan setidaknya menghabiskan 372 tabung gas setiap bulannya. Mereka membeli gas isi ulang tersebut seharga Rp 30.000, ini juga jauh lebih mahal dari harga resmi pangkalan yang ditunjuk Pertamina yang menjual sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yaitu Rp 19.000, selisih Rp 11.000 lebih mahal. Sekali lagi, jika seandainya pangkalan gas Pertamina masuk ke pelosok pulau, maka warga seperti Pulau Bahan mampu menghemat Rp 4.092.000.
Itu belum terhitung harga sembako yang juga lebih mahal 30% dari harga di pasar-pasar kota kabupaten. Belum lagi terhitung biaya transportasi, misalnya untuk perjalanan pulang-pergi ke kota kecamatan setidaknya harus mengeluarkan Rp 240.000, dan pulang-pergi menuju kota kabupaten Rp 360.000. Perjalanan ke kota kabupaten manakah di republik ini yang juga menghabiskan ongkos sebesar itu?
Jika dijumlahkan biaya penghematan dari konsumsi 3 hal di atas; listrik, BBM, dan gas, maka didapatkan jumlah Rp 47.420.700.
Dana yang tidak sedikit, bila dana tersebut digunakan untuk beasiswa anak-anak pulau untuk melanjutkan pendidikan perguruan tinggi, maka bisa untuk menguliahi 26 anak, dengan beasiswa Rp 1.800.000 setiap bulannya. Dan, akan mencetak 26 sarjana setiap lima tahun. Jika keadaan tersebut sudah berlangsung 20 tahun, seharusnya Dusun Pulau Bahan sudah menghasilkan 104 sarjana, yang berarti setiap keluarga mempunyai 1 anak sarjana.
Wacana pengadaan listrik PLN di Pulau Bahan memang sudah ada sejak lima tahun lalu, dan sudah beberapa kali masyarakat bergotong royong mempersiapkan lahan yang dihibahkan untuk gardu mesin PLN. Namun, sampai awal 2023 rencana tersebut belum juga berjalan. Penyambungan langsung kabel induk ke pulau seberang yang sudah ada listrik PLN memang sulit dilakukan, karena terpisah jarak laut dan akan memakan banyak biaya. Ibaratnya akan “Lebih mahal tali daripada kerbau.”
Memang yang namanya sebuah perusahaan seperti PLN atau Pertamina akan menghitung laba rugi dalam menjalankan sesuatu, akan tetapi sebagai sebuah perusahaan negara untuk perkara seperti ini seharusnya sekali-kali menggunakan cara berpikir sila ke lima, “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Bagi masyarakat pulau sendiri hal-hal tersebut sebenarnya bukan suatu permasalahan. Mereka sudah terbiasa menjalani hidup dengan adat cara mereka sendiri dalam menjalani hidup yang sudah ada sejak dari orang-orang terdahulu, tanpa memusingkan diri dari hak-hak mereka sebagai warga negara. Beda halnya dengan penduduk daratan lain, jika ada kenaikan tarif listrik atau BBM walaupun tiga ratus rupiah, mereka akan turun ke jalan dan ke media sosial untuk melakukan protes. Barangkali itu dipengaruhi atmosfer laut dan pantai yang selalu mengajak orang-orang sekitarnya untuk selalu santai, damai, dan selalu bersyukur.
Bagi para pejabat atau politikus yang duduk di atas pucuk pohon nyiur yang sebentar lagi akan melaksanakan Pemilu, setidaknya ini menjadi bahan kampanye dalam mensejahterakan rakyat. Tidak perlu muluk-muluk, harapan masyarakat pulau cuma terpenuhinya kebutuhan dasar secara wajar.
Mudah-mudahan suatu saat, anak-anak pulau yang mengikuti bapaknya menjaring di laut tidak lagi melihat gedung Marina Bay Sands yang terdapat perahu kapal raksasa di atasnya itu tidak seperti melihat negeri lain di atas awan, begitu jauh, terpisah, dan seperti di alam mimpi, padahal jaraknya cuma terpaut 44 km dari pulaunya. (TFT)
Catatan:
– Semoga tulisan ini tidak lagi relevan untuk 5 tahun yang akan datang.
– Silahkan dibagikan dan dipergunakan seperlunya.