Oleh: Tamsil Linrung
Anggota DPD RI
Penghujung November tahun ini, Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) bakal menyelenggarakan Musyawarah Nasional (Munas) di Palu, Sulawesi Tengah. Pelaksanaannya tepat di tengah kasak-kusuk politik menuju Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Meski secara organisasi tidak berpolitik praktis, namun KAHMI adalah rahim bagi lahirnya sejumlah besar politisi tanah air dan pemimpin dalam berbagai komunitas masyarakat Indonesia. Maka, sungguh naif bila di pentas Pemilu, KAHMI menjadi pemain figuran, apalagi sekadar penonton.
Ada banyak peran HMI-KAHMI yang terukir dalam sejarah perjalanan bangsa. Juga ada banyak panggilan yang belum dan harus ditunaikan demi menjawab tantangan kontemporer. Salah satu yang terdekat adalah Pemilu 2024.
Melalui Pemilu, Indonesia memanggil putra-putri terbaiknya. KAHMI tidak boleh ketinggalan kereta. Kader KAHMI, HM Jusuf Kalla (JK) adalah sejarah gemilang KAHMI yang patut diulang.
Dua kali momentum tercipta, dua kali pula JK menjadi wakil presiden. Oleh beberapa tokoh, JK bahkan seringkali disebut sebagai the real president. Salah satunya oleh Mantan Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah, almarhum Buya Syafii Maarif.
Pasca-JK, kini, ada nama kader HMI-KAHMI bertengger di jajaran empat besar calon presiden (Capres) 2024 berelekabilitas tertinggi. Tak perlu malu-malu menyebut nama. Dia Anies Rasyid Baswedan.
Anies telah menemukan momentumnya. Urusan berikutnya tinggal bagaimana menjaga momentum ini agar terus memiliki daya dorong kuat. Salah satunya dengan cawapres yang tepat.
Hingga saat ini, calon wakil presiden (Cawapres) Anies masih menjadi diskusi hangat. Bargaining politik agaknya masih berkecamuk. Nama Agus Harimurti Yudhoyono, Khofifah Indar Parawansyah, dan Ahmad Heryawan ramai disebut-sebut. Namun, proses politik belum mengerucut kepada satu nama.
Terbuka kemungkinan opsi munculnya satu-dua nama baru. Siapapun yang mumpuni dan sejalan dengan Anies tentu berhak mengisi, termasuk warga KAHMI. Lalu, mengapa KAHMI tidak menyambut? Toh KAHMI tidak kekurangan stok.
Warga KAHMI begitu majemuk. Ada elit partai politik Erlangga Hartarto, pengusaha Soetrisno Bachir, akademisi sekaligus birokrat Mahfud MD dan seterusnya. Mereka tumbuh dan berkembang di banyak habitat. Tetapi KAHMI tetap menjadi habitat istimewa.
Keindonesiaan dan Keislaman
Di luar sana, kader KAHMI berbeda warna almamater politik. Namun, semangat mengokohkan keindonesiaan dan keislaman senantiasa menjadi benang merah perjuangan yang menjembatani jiwa dan pikiran mereka.
Sayangnya, keindonesiaan dan keislaman itu pula yang justru mendapat tantangan maha berat belakangan ini. Ya, Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Hutang menggunung, ekonomi merapuh, kesenjangan sosial melebar, dan banyak problem besar lainnya. Sialnya, politik manajemen isu seringkali memosisikan Islam sebagai tersangka.
Saat korupsi merajalela, wacana radikal yang booming. Ketika rupiah melemah, yang dipertentangkan justru Islam versus budaya. Menteri Agama RI bahkan menyebut Islam sebagai agama pendatang, memancing rakyat terus-menerus saling menegasi, melemahkan kohesivitas sosial.
Keindonesiaan merapuh. Nilai-nilai Islam yang tadinya kongkrit dan dibanggakan, dibuat ambigu. Politik identitas menyerang Anies, sementara lawan politiknya dibiarkan bebas berpolitik identitas. Tengoklah bagaimana Ade Armando menggiring opini publik dengan mengangkat isu politik identitas agama tertentu.
Eksistensi Islam seakan ingin dibuat terpisah dari eksistensi negara. Seolah-olah, jika seseorang nasionalis, maka dia pasti bukan penganut islam yang taat. Pun sebaliknya, jika ia penganut islam yang taat, maka pasti dia tidak nasionalis.
Situasi ini adalah tantangan bagi KAHMI. Situasi ini juga menambah daftar panjang alasan mendorong “orang” KAHMI sebagai Cawapres pendamping Anies. Anies telah meniti separuh perjalanan panjang menuju 2024. Separuh jalan berikutnya ikut ditentukan oleh figur Cawapres pendampingnya.
Pasangan Capres-Cawapres KAHMI bukan mimpi di siang bolong. Kita memerlukan pemimpin yang tidak hanya sejuk, ramah terhadap semua pemeluk agama, nasionalis dan intelek, tetapi juga memiliki karakter yang tidak saling memunggungi.
Oleh karenanya, Munas ke-XI KAHMI hendaknya tidak sekadar mencari presidium baru, tetapi juga menyeleksi dan merekomendasikan satu-dua nama sebagai Cawapres pendamping Anies.
Rekomendasi Cawapres bukan perkara baru bagi KAHMI. Pada Munas IX 2014, KAHMI pernah merekomendasikan tiga nama Capres-Cawapres, yakni JK, Akbar Tanjung, dan Mohammad Mahfud MD, yang kemudian mengantar JK mendampingi Joko Widodo.
Presidium Majelis Nasional (MN) KAHMI terpilih harus punya kemampuan mengonsolidasi harapan itu. Tentu bukan hanya soal politik. Begitu banyak problem bangsa ini yang menuntut partisipasi organisasi. Presidium MN KAHMI diharapkan mampu mengelola, menjembatani, dan mengoptimalkan potensi jutaan warga KAHMI di seluruh Indonesia.
Namun, bagaimana pun juga, urusan kepemimpinan bangsa punya relasi terhadap semua persoalan negeri. Maka momentum Pemilu adalah hal serius yang harus disikapi KAHMI.