Pasca Penertiban Kampung Aceh, Relokasi Harus dilakukan Kajian yang Mendalam

Oleh:

Assoc Prof. Dr. M. Syuzairi, M.Si

Pejabat Senior Pemko Batam dan Dosen Perguruan Tinggi 

Penertiban pekat di Kampung Aceh bukan kali ini saja tapi sudah berkali malah beberapa titik yang berdekatan sudah digusur namun tumbuh lagi karena kurangnya pengawasan dengan membiarkan mereka bangun tempat tinggal dilagi istilah di Batam dengan sebutan Rumah Liar alias Rumah bermasalah penyebutan yang lebih manusia.

Pendekatan kemanusiaan yang disesuaikan kewajiban negara untuk memberikan pelindungan tempat tinggal bagi warga negara adalah hal yang harus diutamakan mengingat Batam adalah Kota Otonom menjadi urusan wajib menata kota tempat tinggal yang permanen bagi warganya.

Lalu langkah apa yang harus dilakukan ?

Pertama. Akar Masalahnya lagi-lagi Pemerintah harus punya grand design, Penataan Ruli alias Rumah bermasalah  dengan terlebih dahulu libatkan Perguruan Tinggi lokal lakukan pendataan. Kegiatan ini sebelumnya memang pernah dilakukan tetapi berhenti pada pendataan berapa jumlah Rumah Bermasalah di Kota Batam tidak berlanjut setelah itu mau diapakan. Mesti sudah ada jawaban  harus ada tempat tinggal permanen bagi mereka  secara permanen dikaitkan dengan kegiatan penggusuran  karena pesanan dari mereka yang mendapat PL yang menjadi program pemerintah untuk menghilangkan paling tidak mengurangi jumlah rumah bermasalah Sehingga terkesan pasca penggusuran tanpa adanya pengawasan dan  solusi ganti rugi yang layak mereka membangun kembali di lokasi yang sama atau berpindah tempat.

Kedua, Perlu kegiatan pendataan dengan libatkan Perguruan Tinggi lokal untuk menata jumlah Rumah Bermasalah yang nantinya menghasilkan rekomendasi seperti  Adanya data base warga yang menempati Rumah Bermasalah. Memantau keberadaan mereka untuk berpindah- pindah tempat karena terindikasi tidak sedikit warga yang pernah digusur dengan mendapat ganti rugi bangun lagi di lokasi yang berbeda saat digusur diganti rugi lagi sehingga berulang, pentingnya data base agar warga yang pernah mendapat ganti rugi atau diberi istilah “Uang Kerohiman” tidak akan diberikan kedua kali. disamping itu yang menempati rumah bermasalah tidak semuanya dari kalangan warga yang tidak mampu malah terindikasi ada  disewakan yang seperti ini perlu dilakukan penertiban yang terukur dan diberi sanksi.

Ketiga, Perda Penataan PKL dan Rumah Bermasalah perlu disejalankan dengan adanya ganti rugi ataupun bentuk uang kerohiman karena wajib diberikan berdasar UU maupun Perpres yang mengatur tidak terkecuali di atas tanah negara, maka setiap kali ada kegiatan penggusuran terlebih dahulu berpikir untuk cari solusi tentu untuk kasus lahan di Batam, apabila tanah yang belum bersertifikat HPL mekanisme Ganti Rugi wajib dengan libatkan lembaga MAPI/Appraisal dan uang kerohiman bagi mereka yang tempati lahan yang sudah bersertifikat HPL, Uang Kerohiman dengan pertimbangan kemanusiaan. ada salah juga dari pihak yang mendapat PL ketika awal sudah bebas penguasaan dibiarkan tidak ada pengawasan sehingga warga seenaknya bangun rumah bermasalah, di sisi lain karena warga menganggap Negara wajib menyediakan papan maka tidak heran kasus di Batam justru lahan yang sudah diberikan tanda larangan dibangun di dalamnya terutama di hutan lindung.

Keempat, Grand Design penataan PKL dan Rumah Bermasalah sangat perlu digesa penataannya secara terukur dengan terlebih dahulu menyediakan perkampungan baru bagi warga korban penataan ataupun menyediakan rusun bersubsidi dan murah.  tentu tidak semua warga yang mampu atau disarankan bagi warga yang tidak mampu miliki rumah dari pada telantar di Batam diberi laluan untuk pulang kampung, menjadi tupoksi Dinsos yang program sebelumnya pernah ada dihidupkan kembali disarankan kerjasama dengan pemerintah daerah asal. Penataan ini sangat penting apabila disinkronkan dengan pesatnya pembangunan infrastruktur khususnya jalan sehingga moleknya Kota Batam bukan dilihat di pusat kota tetapi pinggir-pinggirnya juga bersih, sehat dan tertata rapi, memang bukan mudah tapi harus direncanakan dari sekarang karena pembangunan infrastruktur diharapkan memberi manfaat bagi masyarakat mengurangi angka kemiskinan, menekan angka kriminalitas, putus asa menjadi perhatian utama juga tentu semua berproses.

Khusus nama Kampung Aceh yang sering dibaca di Media sebagai kampung narkoba perlu didefinisikan kembali istilahnya karena identik seolah-olah kampung yang domisili warga Aceh padahal kemungkinannya sudah berbaur.

Terakhir, dengan banyaknya korban pekat di Kota Batam yang dikaitkan dengan tempat terbatas baik di BNN maupun penampungan Dinas Sosial yang terbatas. kiranya pemanfaatan RS bekas penanganan covid di Galang dapat dimanfaatkan tentu kalau aturan membolehkan ataupun Pemerintah sudah mulai berpikir mereka di tempat dalam satu pulau kosong yang menyediakan berbagai fasilitas pembinaan bahwa gagasan ini pernah dicetuskan ketika terakhir menjabat Kadis Sosial serta untuk penanganan warga yang tinggal di Rumah Bermasalah hanya diberikan KTP sementara kalau sisi aturan membolehkan dan ini gagasan ketika menjabat Kadisduk Kota dengan tujuan mengurangi pertumbuhan Rumah Bermasalah yang sering disebut RULI.  Sebagai catatan dan masukan saja. Semoga Batam tetap Jaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *