Muhammad dan Al-Qur’an (Resapan Buku Imajinasi Islam Sebuah Rekonstruksi Islam Masa Depan)

Oleh: Amirul Khalish Manik

EranusaNews.com, – Segala Puji bagi Allah SWT yang telah menetapkan kemuliaan dan kemenangan bagi orang-orang beriman, serta kehinaan dan aib bagi orang-orang yang melampaui batas. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi kita, Pejuang yang syahid beserta keluarganya, para sahabat dan orang-orang yang melakukan jihadnya.

Bulan suci Ramadhan sangat erat kaitannya dengan kitab suci Al-Qur’an. Bulan suci Ramadhan menjadi sinyal kuat bahwa Ramadhan benar-benar waktu istimewa, sehingga ia pantas menjadi waktu tadarus Al-Qur’an.

Selaku umat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kita wajib mengimani dan meyakini bahwa isi kandungan Al-Qur’an adalah kebenaran. Dan itulah yang akan mengantarkan kita kepada marifatullah/kedekatan kita dengan Allah SWT. Bukan hanya membaca, tapi juga mengamalkan isi Al-Qur’an.

Terlepas dari perdebatan teologis tentang hakikat Al-Qur’an, apakah dia makhluk yang diciptakan dan ter lepas dari Sang Khaliq, ataukah tajally dari dzat-Nya yang bersifat qadim, yang pasti wujud redaksional Al-Qur’an yang kemudian diabadikan berupa barang cetakan, perannya sangat besar untuk menjaga otentisitas sumber ajaran Islam sebagai realitas sejarah. Bayangkan, andaikan sebuah ajaran agama, meskipun diyakini datang dari Tuhan, kehilangan dokumen yang otentik berupa tulisan maka sangat bisa jadi narasi agama itu akan berkembang menjadi sebuah dongeng yang tak terkontrol, berubah dari zaman ke zaman. Adapun dalam Islam, teks Al-Qur’an tetap namun penafsirannya dinamis dan selalu berkembang dari zaman ke zaman. Al-Qur’an memberikan dasar dan rujukan normatif, sunnah nabi menjadi rujukan model kehidupan konkretnya.

Bagi masyarakat awam, jika disebut kata Al-Qur’an yang terbayang adalah mushaf cetakan Al-Qur’an sebanyak tiga puluh juz. Padahal di masa hidup Rasulullah, Al-Qur’an tersimpan dalam dada para sahabat sebagai sebuah semangat dan nilai-nilai panduan hidup yang melekat dalam hatinya dan kemudian diamalkan.

Nabi Muhammad belum pernah melihat mushaf yang tercetak dan tertata rapi sebagaimana yang kita lihat sekarang. Pada masa Rasulullah belum ada kebutuhan untuk menuliskan wahyu Al-Qur’an karena dua alasan utama. Pertama, waktu itu banyak sahabat nabi yang menghafalkannya dan, kedua, masyarakat Arab yang tinggal di wilayah padang pasir yang tidak terbiasa dengan tradisi tulis-baca, sangat kuat dalam hafalan. Sampai-sampai mereka bisa hafal silsilah unta yang mereka miliki sampai tujuh generasi sebelumnya. Berbagai sebutan unta mencapai dua puluh istilah sebagaimana banyaknya sebutan bagi orang Jawa tentang nasi, sementara orang Barat menyebut nasi atau pun beras hanya satu kata, yaitu: rice. Ini menunjukkan bahwa bahasa dan budaya tak terpisahkan. Pada mulanya budaya melahirkan bahasa, lalu pada urutannya bahasa membentuk budaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *