Catatan Pelepas Penat: Gaya Saya!

Oleh:

Amsakar Achmad, S.Sos., M.Si

Wakil Walikota Batam

INI bukan soal mejeng atau berlenggang lenggok di catwalk. Juga bukan soal penilaian untuk mendapatkan simpati dewan juri. Tapi ini lebih kepada soal momentum, waktu, dan ketepatan dalam pengambilan keputusan. Orang bijak mengatakan setiap orang ada waktunya dan setiap waktu ada orangnya. Dalam konteks ini, diperlukan kesesuaian antara pengambilan keputusan seseorang dengan waktu dan momentum.

Mengapa saya harus memulai tulisan ini dengan paragraf pembuka seperti di atas? Hal ini tidak lain disebabkan karena banyak sekali diskursus yang berkembang di ruang publik yang sifatnya pro dan kontra atas persetujuan saya ketika menjawab usulan relawan untuk maju di jalur independen.

Usulan tersebut adalah sesuatu yang patut diarifi karena muncul dari rahim kejujuran. Saya yakin dan percaya bahwa “relawan saya” adalah mereka yang sangat berpegang pada hati nurani, jauh dari kepentingan jabatan, tidak peduli pada intimidasi, dan lebih dari itu, mereka adalah orang-orang yang memiliki independensi dan jati diri.

Mereka sudah terbiasa “bersusah payah” bersama saya dan mereka juga paham bagaimana berjuang di tengah keterbatasan. Karena itu, usulan mereka agar saya mempersiapkan opsi jalur independen bukanlah gagasan yang serampangan. Itulah sebabnya saya mengapresiasi ide tersebut, seraya menyampaikan bahwa sebagai pengurus partai tentu saja saya lebih memprioritaskan jalur parpol.

Singkatnya, saya berpikir bahwa kedua jalur tersebut bisa komplementer (saling melengkapi), saling memperkuat dan dapat disinergikan. Ini berarti mempersiapkan jalur independen tidak berarti menegasikan jalur parpol. Keduanya dapat dianalogikan seperti mempersiapkan timba saat akan mengambil air di sumur.

Selain diskusi soal jalur independen, ada juga yang bertanya kok nekat bahkan sampai deklarasi segala. Untuk pertanyaan ini, perlu diluruskan bahwa saya belum pernah mendeklarasikan diri. Dua pertemuan yang saya hadiri bersama Pak Irwansyah sifatnya silaturahmi antar relawan. Saya pribadi tak pernah sekalipun mencetuskan narasi deklarasi. Narasi ini muncul di medsos karena semangat yang sedemikian rupa dari para relawan. Singkat cerita, kami akan mendeklarasikan diri jika sudah sampai saatnya nanti.

Soal nekat? Jawabannya sederhana bahwa tidak ada satu pun keputusan yang diambil tidak memiliki konsekuensi. Apapun yang anda pilih pasti ada resiko. Yang paling penting adalah bagaimana meminimalisir resiko tersebut. Bagi saya, jika segala sesuatunya telah dipertimbangkan secara cermat maka pada saat itu, saya sudah tidak peduli lagi dengan resiko. Seperti ketika saya harus meninggalkan posisi sebagai ASN untuk maju ke kancah politik, saya sangat siap dengan resiko apapun.

Begitu juga ketika suasana harus menjadikan saya seperti terasing di rumah sendiri, saya juga tidak peduli. Bahkan, jika semua yang melekat dalam diri saya harus tercerabut, saya juga tak peduli. Satu yang pasti, ikhtiar ini muncul karena rasa cinta saya terhadap rumah besar yang telah saya huni hampir separuh perjalanan usia saya. Inilah gaya saya, sebelum keputusan dibuat, saya akan mempertimbangkannya dengan cermat. Tetapi tatkala keputusan sudah diambil, saya tak kan lagi berbalik arah, tak kan lagi berpaling tadah. Bagi saya, hidup itu berpantang mati sebelum ajal. Maaf kawan, saya tidak dilahirkan untuk terus berada di bawah bayang-bayang seseorang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *