Catatan Pelepas Penat: Orang Besar dan Orang Kecil

Oleh : Amsakar Achmad, S.Sos., M.Si. (Wakil Wali Kota Batam 2015-2020-2020-2024)

Eranusanews.com – Sebenarnya kita sedang berada di dunia yang tidak fair ketika miliaran manusia tidak dapat menolak untuk masuk dan terpasung dalam kategorisasi sosial antara “orang besar” dan “orang kecil”. Celakanya lagi “orang besar” dan “orang kecil” itu dipersepsikan pada dua kutub ekstrem yang berseberangan. Punya duit, punya kuasa, punya jabatan, punya akses, berumah besar, bermobil mewah, memiliki aksesori yang wah, mereka ini masuk dalam kategori “orang besar”. Sebaliknya, duit pas-pasan, kuasa tak punya, jabatan gak ada, akses gak jelas, rumah biasa saja, mobil “jauh panggang dari api”, aksesori “ala kadar”, mereka ini tentu saja dianggap sebagai “orang kecil”.

Jikalau “orang besar” dan “orang kecil” berhadap-hadapan dalam sebuah agenda bersama, sangat mungkin akan terjadi perbedaan gaya. Orang besar biasanya akan menunjuk dengan tangan kiri –kadang-kadang tangan kanan– seraya memasukkan tangan satunya lagi ke dalam saku. Gaya menunjuk dan memasukkan tangan ke saku memberikan makna simbolik sebagai kaum elit atau pejabat hebat, dan tentu saja ingin dipersepsikan sebagai orang sibuk dimana anak buah harus serius melaksanakan perintah. Sedangkan orang kecil jika berhadapan dengan orang besar biasanya akan menunduk seraya memegang erat kedua tangan pertanda siap perintah dan siap salah.

Persepsi atas keberadaan dan ketiadaan yang diukur dari kepemilikan, kekayaan, dan kekuasaan telah melahirkan antagonisme sosial, dimana seseorang bisa “menjengkal” seseorang yang lain dan bahkan dapat menjadikan dirinya sebagai satu-satunya titik sentral kendali untuk mengelola power, authority, bureaucracy, maupun mendistribusikan indoktrinasi. Distribusi indoktrinasi paling dominan adalah membangun narasi untuk menumbuhkan “rasa cinta” terhadap “orang kita” dan “rasa benci” terhadap “orang sana”. Pada sisi ini, antagonisme semakin melebar, kehidupan semakin jauh dari kasih sayang, dan “rasa berkita” jadi hilang entah ke mana.

Begitulah, konsepsi “orang kecil” dan “orang besar” terus saja berhadap-hadapan dengan “orang kita” dan “orang sana”. Semua bermula dari kepemilikan sumberdaya. Kata Marx dalam Das Kapital [1867], sumber utama pertentangan kelas adalah penguasaan faktor produksi. Penguasaan ini melahirkan kelas borjuis [pemilik modal dan tuan tanah], serta kelas proletariat [buruh]. Dua kelas ini secara berkesinambungan melahirkan konflik dari tesa berhadapan dengan antitesa sehingga melahirkan sintesa. Sintesa ini menjadi tesa baru yang akan berhadapan dengan antitesa yang juga baru sehingga melahirkan sintesa yang lebih baru. Begitu seterusnya, sehingga kemudian –kata Marx– pada saatnya nanti akan lahir masyarakat tanpa kelas. Masyarakat tanpa kelas inilah yang oleh ilmuan sekarang dianggap sebagai utopia, mimpi dan omong kosong. Bahkan semakin tua dunia semakin serakah manusia untuk menguasai faktor produksi agar dikenal sebagai kaum “the have” yang disegani oleh kaum “the haven’t”. Penguasaan itu pada akhirnya juga turut mengendalikan power, authority, and bureaucracy. Jadi, konsepsi “orang kecil” tak kan pernah hilang karena memang dibutuhkan oleh “orang besar”. Ia tetap ada untuk dibayar, digertak, dimarahi, dibeli, bahkan dicaci dan dimaki.

Lalu apa lagi yang “orang kecil” dapatkan dari “orang besar” selain dibayar, digertak, dimarahi, dicaci, dan dimaki. “Orang kecil” juga akan dapat “angpao”, sembako, baju seragam, atau minuman kaleng pada saat-saat tertentu. Semua dimaksudkan untuk membangun peta hegemonik dalam desain patron-client [majikan-hamba] berdasarkan mekanisme transaksional. Semakin banyak “cair” semakin terbelilah harga diri. Pelan tapi pasti semua akan takluk pada kekuatan finansial. Ketika cara berlogikanya sudah seperti itu maka efek elektoral pun dianggap dapat diatur dengan kekuatan finansial. Bahasa sederhananya untuk berkompetisi tidak cukup hanya popularitas dan elektabilitas, tetapi juga perlu brankas dan isi tas. Kalau sudah demikian maka suara rakyat bukan lagi suara Tuhan, tapi suara rakyat sudah terbeli dengan uang. Begitulah skenario “orang besar” untuk mengerdilkan “orang kecil”. Bagaimana endingnya? Kita lihat saja di perjalanan waktu yang tersisa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *